Orde baru muncul dengan tekad untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Semangat
tersebut muncul berdasarkan pengalaman sejarah dari pemerintahan sebelumnya
yang telah menyimpang dari Pancasila serta UUD 1945 demi kepentingan kekuasaan.
Akan tetapi, yang terjadi sebenarnya adalah tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi pada masa orde lama, yaitu Pancasila tetap pada posisinya sebagai alat
pembenar rezim otoritarian baru di bawah Soeharto.
Seperti rezim otoriter pada umumnya lainnya,
ideologi sangat diperlukan orde baru sebagai alat untuk membenarkan dan
memperkuat otoritarianisme negara.Sehingga Pancasila oleh rezim orde baru
kemudian ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membenarkan dan memperkuat
otoritarianisme negara. Maka dari itu Pancasila perlu disosialisasikan sebagai
doktrin komprehensif dalam diri masyarakat Indonesia guna memberikan legitimasi
atas segala tindakan pemerintah yang berkuasa.dalam diri masyarakat Indonesia.
Adapun dalam pelaksanaannya upaya indroktinisasi tersebut dilakukan melalui
berbagai cara, mulai dari pengkultusan Pancasila sampai dengan Penataran P4.
Upaya pengkultusan terhadap pancasila
dilakukan pemerintah orde baru guna memperoleh kontrol sepenuhnya atas
Pancasila dan UUD 1945.Pemerintah orde baru menempatkan Pancasila dan UUD 1945
sebagai sesuatu yang keramat sehingga tidak boleh diganggu gugat. Penafsiran
dan implementasi Pancasila sebagai
ideologi terbuka, serta UUD 1945 sebagai landasan konstitusi berada di tangan
negara.Pengkultusan Pancasila juga tercermin dari penetapan Hari Kesaktian
Pancasila setiap tanggal 1 Oktober sebagai peringatan atas kegagalan G 30 S/PKI
dalam upayanya menggantikan Pancasila dengan ideologi komunis.
Retorika mengenai persatuan kesatuan
menyebabkan pemikiran bangsa Indonesia yang sangat plural kemudian
diseragamkan.Uniformitas menjadi hasil konkrit dari kebijakan politik
pembangunan yang unilateral.Gagasan mengenai pluralisme tidak mendapatkan
tempat untuk didiskusikan secara intensif. Sebagai pucaknya, pada tahun 1985
seluruh organisasi sosial politik digiring oleh hukum untuk menerima Pancasila
sebagai satu-satunya dasar filosofis, sebagai asas tunggal dan setiap warga
negara yang mengabaikan Pancasila atau setiap organisasi sosial yang menolak
Pancasila sebagai asas tunggal akan dicap sebagai penghianat atau
penghasut.Dengan demikian, jelaslah bahwa Orde Baru tidak hanya memonopoli
kekuasaan, tetapi juga memonopoli kebenaran. Sikap politik masyarakat yang kritis dan berbeda pendapat
dengan negara dalam prakteknya diperlakukan sebagai pelaku tindak kriminal atau
subversif.
Pada era Orde Baru, selain dengan melakukan
pengkultusan terhadap Pancasila, pemerintah secara formal juga
mensosialisasikan nilai-nilai Pancasila melalui TAP MPR NO II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di sekolah dan di masyarakat.
Siswa, mahasiswa, organisasi sosial, dan lembaga-lembaga negara diwajibkan
untuk melaksanakan penataran P4.Tujuan dari penataran P4 antara lain adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan
pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk
dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah
pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Selain sosialisasi nilai
Pancasila dan menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa, dalam
kegiatan penataran juga disampaikan pemahaman terhadap Undang- Undang Dasar
1945 dan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Pelaksanaan penataran P4 sendiri
menjadi tanggung jawab dari Badan Penyelenggara Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Akan tetapi cara melakukan pendidikan
semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang
berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam penataran P4, ternyata justru
mematikan hati nurani generasi muda
terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan
oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang
benar. Setiap hari para pemimpin berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata
Pancasila dan UUD1945, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan
mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat
persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai
landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma
hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para
pemimpin. Atau dengan kata lain Pancasila hanya digunakan sebagai slogan yang menunjukkan
kesetiaan semu terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Kecenderungan orde baru dalam memandang
Pancasila sebagai doktrin yang komprehensif terlihat pada anggapan bahwa
ideologi sebagai sumber nilai dan norma dan karena itu harus ditangani (melalui
upaya indoktrinasi) secara terpusat. Pada akhirnya, pandangan tersebut bermuara
pada keadaan yang disebut dengan perfeksionisme negara. Negara perfeksionis
adalah negara yang merasa tahu apa yang benar dan apa yang salah bagi
masyarakatnya, dan kemudian melakukan usaha-usaha sistematis agar ‘kebenaran’
yang dipahami negara itu dapat diberlakukan dalam masyarakatnya. Sehingga
formulasi kebenaran yang kemudian muncul adalah sesuatu dianggap benar kalau
hal tersebut sesuai dengan keinginan penguasa, sebaliknya sesuatu dianggap
salah kalau bertentangan dengan kehendak penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar