Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang
berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi.
Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan
dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat
terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa
pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan.
Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama.
Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode
1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah,
tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar
negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948
dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode
ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang
masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah
penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan
politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat
dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer,
dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala
pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya
stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi
rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara
terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih
menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat
tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta
yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan
lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis.
Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang
diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang
menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan
Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin.
Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah
nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno.
Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral
di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila,
dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Untuk memberi
arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 1945,
sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan
kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang
memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia
internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat
ditegakkan.
Soekarno
di dalam menjalankan Pancasila tidak berjalan dengan mudah. Banyak tantangan
yang dihadapi, yaitu muncul dari kelompok nasionalis-religius yang belum
menerima Pancasila. Mereka masih menginginkan sila pertama dari Pancasila
adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Dan yang paling besar menolak Pancasila adalah Kahar
Muzakar, yang selanjutnya memberntuk DI/TII sebagai perlawanan terhadap pemerintah
dan untuk menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam. Dinamika
perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan
perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan
pada masa Orde Baru. Pada dasarnya hal ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan
kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta dari Pembukaan UUD 1945, apalagi
ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila sebagai alat untuk menekan
kalangan Islam tersebut. Hal ini tampak ketika akhir tahun
1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan
bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno. Ini karena Pancasila
telah dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan
Islam bagi pengakuan negara atas Islam. Dalam rangka menyeimbangkan secara
ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno bukan
saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal sebagai
NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan komunisme.
Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan antara
PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur politik yang
sangat labil pada awal tahun 1960 an, sampai akhirnya melahirkan Gerakan 30
S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Blackjack | Casino & Hotel, Resort Spa, Phoenix
BalasHapusBlackjack combines the excitement of casino 안성 출장안마 and gambling together to create 고양 출장샵 an immersive gaming experience that 제천 출장안마 offers an 순천 출장마사지 unforgettable experience that creates Rating: 3.3 · 세종특별자치 출장안마 2 reviews